Sabtu, 04 Juli 2009

TAQLID

TAQLID

Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah “Materi PAI-2

Dosen Pembimbing:

Drs. Nur Effendi, M.Ag

NIP.

Disusun Oleh :

1. Anik Nadhiroh 3211073040

2. Arnes Jainur Trinasari 3211073045

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) TULUNGAGUNG

MEI 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada periode kelima yaitu periode mendirikan dan menguatkan madzab, tersiarnya diskusi dan perdebatan yang dimulai dari permulaan abad ke IV sampai dengan runtuhnya Daulat Abbasiyah terjadi ikatan-ikatan politik antara daerah-daerah Islam terputus. Yang mana masing-masing golongan dari para penguasa saling memusuhi dan membuat tipu daya antara yang satu dengan yang lainya.

Adapun keadaan ilmu tidak ikut kacau balau seperti keadaan politik namun tetap berkembang lebih-lebih pada masa saljuk di Timur dan masa Daulat Fathimiyah di Mesir. Padanya muncullah ulama-ulama besar tokoh-tokoh pemikir. Dalam pembinaan hukum Islam (tasyri’ Islami) mereka mempunyai peranan seperti apa yang akan kami perinci pada keistimewaan-keistimewaan berikut ini, hanya saja yang wajib diketahui bahwasanya kemerdekaan (kebebasan) dalam pembinaan hukum telah lemah karena mengikuti lemahnya kemerdekaan politik.

Tipu daya yang terbesar adalah yang terjadi antara bani Abbas di Baghdad yang kekuasannya surut dan bani Fathimiyah yang pusatnya kuat karena menguasai Mesir dan Syam. Mereka mengirimkan para juru da’wah dengan tangkas kedaerah-daerah Islam untuk menyiarkan dakwa mereka. Bani Abbasiyah menyelenggarakan rapat-rapat untuk memutuskan hubungan dengan bani Fathimiyah dan mereka menjauhkan diri dari keturunan Az Zahro dan mereka mewajibkan adanya ceramah-ceramah yang dihadiri oleh orang-orang yang terhormat dan ulama secara tunduk maupun terpaksa.

B. Rumusan Masalah

  1. Apa itu taqlid ? dan Bagaimana hukum bertaqlid?
  2. Bagaimana cara untuk memilih mufti?
  3. Apa itu madzab? dan Bagaimana ketentuan untuk memilih madzab?

C. Tujuan Pembahasan

  1. Agar mahasiswa mengetahui pengertian dan hukum taqlid
  2. Agar mahasiswa mengetahui cara untuk memilih mufti
  3. Agar mahasis mengetahui pengertian dan ketentuan untuk memilih madzab.

BAB II

PEMBAHASAN

A. TAQLID

1. Pengertian Taqli

Taqlid adalah menerima hukum-hukum dari imam tertentu dan menganggap pendapat-pendapatnya seolah-olah nash dari syari’ yang wajib diikuti oleh orang yang bertaqlid.

Yang boleh bertaqlid (muqollid) adalah orang-orang umum yang tidak menyibukkan diri untuk mempelajari Al Kitab dan As Sunnah hingga menjadikan mereka ahli untuk beristimbath, apabila mereka mendapatkan suatu peristiwa mereka bersegera kepada seorang ahli fiqih dinegeri mereka untuk minta fatwa.

Sedangkan yang boleh ditaklidi (para mujtahid) adalah para fuqoha yang mempelajari Al kitab dan As sunah dan mereka mempunyai kemampuan untuk menginstimbatkan hukum-hukum dari zhahir nash atau dari apa yang tersirat padanya.

2. Hukum bertaqlid

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang Islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama, diantaranya firman Allah dalam surat Luqman : 21.

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتْبِعُوْا مَااَنْزَلَ اللهُ قَالُوْ بَلْ نَتَّبِعُ مَاوَجَدْ نَاعَلَيْهِ ابَا ئُنَا (لقمان : ۲۱)

Artinya:

Bila dikatakan kapada mereka ikutilah apa-apa yang diturunkan Allah mereka berkata, bahkan kami mengikuti apa-apa yang kami temukan bapak-bapak kami melakukannya.

Disamping itu ada pula ayat yang mengisyaratkan tidak perlu semua mendalami pengetahuan agama, tapi cukup sebagian orang saja, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah pada surat At-Taubah : 122.

فَلَوْلاَ نَفَرَمِنْ كُلّ فَرْ قَةٍ مِنْهُمْ طَا ئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيَنْفِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَارَ جَعُوْا (التوبه : ۱۲۲)

Artinya:

Kenapa tidak keuar dari sebagian dari setiap golongan diantara mereka untuk mendalami pengetahuan agama dan mengajari (memperingatkan) kaumnya setelah mereka kembali.

Adapun pada periode ini, taqlid berjalan secara umum, dan dalam hal itu para ulama dan selainnya dari jumhur bersekutu. Setelah orang yang menghendaki fiqih pada mulanya sibuk mempelajari Al Qur’an dan riwayat As Sunnah yang keduanya adalah atas istimbath lalu dia mempelajari kitab-kitab imam tertentu dan mempelajari jalannya yang dengan jalan itu imam tersebut membukukan hukum-hukum. Apabila ia telah menyempurnakan hal itu maka ia termasuk ulama yang ahli fikih (fuqaha).

Sebagian dari mereka ada yang bercita-cita tinggi lalu dia menyelisihi suatu kitab tentang hukum-hukum imamnya, adakalanya mengikhtisarkan terhadap karangan yang terdahulu atau mensyarahkan atau mengumpulkan terhadap sesuatu yang terpisah pada kitab yang berlain-lainan, dan salah seorang dari mereka tidak memberanian untuk mengatakan sesuatu masalah dengan pendapat yang bertentangan dengan apa yang difatwakan oleh imamnya seolah-olah kebenaran itu turun pada lidah dan hati imamnya sehingga peninjau fuqoha Hanafiyah pada periode ini, dan imam mereka dengan tidak menentang yaitu Abdul hasan Ubaidullah Al Karchi. Dengan seperti inilah mereka memberi hukum kepada orang lain dan terbukalah pintu memilih pendapat. Kami tidak ragu bahwa diantara fuqoha periode ini terdapat imam-imam besar, dan penuturan sebagian dari mereka segera datang dan kami tidak menduga bahwa mereka kurang mengetahui pokok-pokok tasyrik dan jalan beristimbath daripada orang-orang yang mendahului mereka, namun mereka tidak mempunyai kemerdekaan yang disenangi oleh orang-orang yang terdahulu.

3. Memilih mufti

Orang yang awam tidaklah meminta fatwa kecuali kepada orang yang telah dikenalnya karena ilmu dan sifat adilnya. Jika diketahui tidak adanya salah satu dari kedua sifat tersebut, maka menurut kesepakatan ulama, yang bersangkutan tidak boleh diikuti.

Jika ijtihad merupakan syarat dalam menerima fatwa, maka hal itu harus dilakukan oleh yang bertanya. Dan lagi, asalnya adalah tidak ada ijtihad, sehingga untuk merubah ijtihad (sebelumnya) harus mengetahui ijtihad yang terbaru; selama tidak diketahui, maka hukumnya tetap.

Jika orang yang memberi fatwa tidak diketahi sifat adilnya, Imam al Ghazali berpendapat: Sebaiknya dikatakan: yang bersangkutan tidak didiamkan hingga ditanya sifat adilnya terlebih dahulu, karena dia belum dipercaya (bebas dari) sifat dusta dan kepalsuannya. Dan mungkin dikatakan bahwa kondisi seorang yang alim secara lahir memiliki sifat adil, apalagi jika dia telah dikenal dengan fatwanya. Tidak mungkin dikatakan: Secara lahir kondisi pekertinya dilihat dari ilmunya dan telah mencapai level (orang memperbolehkan orang melakukan) fatwa, ketidak-tahuan lebih mendominasi pekerti.

Semua orang adalah awam kecuali beberapa orang (saja), bahkan semua ulama adalah orang-orang yang memiliki sifat adil kecuali beberapa saja. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibn al-Hammam. Ketika hendak meneliti tentang kondisi (kapabelitas dan kredibelitas) seorang mufti, maka cukup dengan mengetahui apa yang tersiar di kalangan ummat.

4. Taqlid kepada orang yang tidak diunggulkan saat ada yang diunggulkan

Jika di suatu negara hanya ada seorang mufti maka wajib bagi orang awam bertanya kepadanya. Jika muftinya banyak, maka orang awam tersebut boleh bertanya kepada siapa saja dan tidak harus mereferen (merujuk) yang paling alim dan utama, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa sahabat, karena orang awam yang bertanya kepada mufti yang diunggulkan dan yang tidak diunggulkan tidak dilarang bertanya kepada selain sahabat Abu Bakar, Umar dan selain khalifah yang lainnya.

B. MADZHAB

Pengertian madzhab dalam istilah fiqh atau ilmu fiqh adalah:

  1. Jalan pikiran atau metode (manhaj) yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian
  2. Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti dengan hukum suatu kejadian

Orang awam tidak mutlak harus mengamalkan fatwa yang diterimanya dari seorang mufti.

Sehingga adanya kelonggaran untuk mengikuti mufti lain itu dalam masalah lain mengisyaratkan tidak harusnya seseorang untuk mengikatkan dirinya secara penuh kepada pendapat atau mazhab imam tertentu. Namun Ibnu Subki tetap mengharuskan seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu yang diyakini pendapatnya lebih kuat di antara madzhab yang ada.

Para pakar ilmu ushul kontemporer seperti Badran mengatakan tidak wajib bermadzhab (secara tetap), karena tidak ada ketentuan syara’ yang mewajibkan seseorang untuk mengikuti imam atau madzhab tertentu. Yang diwajibkan syara’ hanyalah mengikuti ahli ilmu tanpa menentukan person ulama (mufti) tertentu. Para shahabat dan ulama tabi’in tidak pernah menyangkal orang bukan mujtahid betanya kepada siapa saja yang termasuk ulama tanpa mengikatkan dirinya kepada madzhab tertentu.

Bertolak pada pendapat yang membolehkoan bermazhab, bolehkan orang yang telah bermazhab itu pindah madzhab. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama:

1. Sebagian ulama mengatakan tidak boleh, karena ia telah menyatakn dirinya untuk mengikuti madzhab meskipun asal mulanya tidak harus.

2. Ulama lainnya mengatakan boleh-boleh saja karena bermazhab itu sendiri tidak harus. Melazimkan sesuatu yang tidak lazim adalah tidak lazim.

3. Ada juga ulama mengamalkan jalan tengah dengan mengatakan tidak boleh dalam sebagian masalah dan boleh dalam sebagaian lainnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Taqlid adalah menerima hukum-hukum dari imam tertentuk dan mengangap pendapat-pendapatnya seolah olah nasj dari syari’ yang wajin diikuti oleh orang yang bertaqlid. Hukum dari bertaqlid adalah boleh dan ada pula yang mengisyaratkan tidak boleh. Adapun pada periode ini, taqlid berjalans ecasra umum dan dalam hal itu para ulama dan selainnya bersekutu.

Dalam memilih mufti adalah kepada siapa saja asalkan dia berilmu dan bersikap adil. Dan apabila dalam suatu negara itu memiliki banyak mufrti maka kita bisa memilih siapa saja, tidak harus orang yang lebih pintar atau yang berilmu.

Madzab adalah suatu pendapat atau fatwa dari seorang mujtahid atau mufti dengan hukum pada suatu kejadian. Orang awam itu tidak mutlak mengikuti fatwa yang dari seorang mufti. Tetapi ada sebagian ulama berpendapat bahwa kita tetap diharuskan mengikuti madzhab sesuatu dengan yang diyakini pendapatnya lebih kuat diantara madzab-madzab yang ada.

B. Saran

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak sangat saya perlukan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mudhari, Bik, Terjemah Tarikh Al-Tasyri’ Al Islam, Darul Ikhya, Indonesia

2. Al-Qarni, DR, ’Aidh, Ushul Fiqh/Penulis, Syaikh Muhammad al Khudhari biek,. Jakarta: Pustaka Asmani, 207.

3. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Jilid II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

4. Amiruddin, H.Zen, Drs. M.SI., Ushul Fiqh, Surabaya: ELKAF, 2006.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulis tidak dapat memungkiri bahwa makalah ini tidak dapat selesai tanpa ada bantuan dari berbagai pihak, dan karena itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. DR. H. Mujamil, M.Ag., selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.

2. Drs. Nur Efendi, M.Ag., selaku dosen pembimbing mata kuliah Materi PAI 2 (Materi Pendidikan Agama Islam)

3. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Sekali lagi, penyusun mengucapkan terima kasih dengan do’a jazakumulloh ahsanal jaza’ amin. Ibarat pepatah “Tiada gading yang tak retak”. Penyusun menyadari makalah ini banyak menyimpan kekurangan dan kejanggalan di luar pengetahuan penyusun dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kepada pembaca yang budiman kiranya sudi memberikan suatu kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat kepada penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Amin ya robbal ‘alamin.

Tulungagung, Mei 2009

Penyusun

ii


DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................. i

Kata Pengantar............................................................................................. ii

Daftar Isi...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................ 1

B. Rumusan Masalah........................................................................ 1

C. Tujuan Masalah............................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Taqlid.......................................................................................... 3

B. Madzab........................................................................................ 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................. 8

B. Saran............................................................................................ 8

Daftar Pustaka

iii

MUNCULNYA ISTILAH FIQHIYAH DAN TOKOH-TOKOH MUJTAHID SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TASYRI’

MUNCULNYA ISTILAH FIQHIYAH DAN TOKOH-TOKOH MUJTAHID SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN TASYRI’

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah “MPAI-2"

Dosen Pembimbing : Drs. NUR EFENDI, M.Ag

NIP. 150 288 493

Disusun Oleh kel 7 kls B:

1. Anisatur Rohmah (3211073043)

2. Fizka Anggun Nidyawati (3211073057)

3. Dedi Kristanto (32110730 )

JURUSAN TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) TULUNGAGUNG

2009

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang mana telah melimpahkan rahamt taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Munculnya Istilah Fiqhiyah Dan Tokoh-Tokoh Mujtahid Serta Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Tasyri’”.

Terselesainya pembuatan makalah ini bukan semata-mata karena penyusun saja, akan tetapi kerjasama dari berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Mujamil, M. Ag., selaku Ketua STAIN

2. Drs. Nur Efendi, M.Ag, selaku dosen pembimbing

3. Serta teman-teman yang telah membantu tersusunnya makalah ini, semoga menjadi amal ibadah yang bermanfaat di dunia dan akhirat.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan kami selaku penyusun pada khusunya.

Tulungagung, Mei 2009

Penyusun

ii


DAFTAR ISI


Halaman Judul ..................................................................................................... i

Kata Pengantar ................................................................................................... ii

Daftar Isi ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1

C. Tujuan Pembahasan ............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Timbulnya Masalah Fiqhiyah................................................................ 3

B. Tokoh-Tokoh Mujtahid.................................................................... ... 4

C. Pengaruh Fiqih Terhadap Perkembangan Tasyri’ ................................ 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 10

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah-istilah fiqh sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi semua umat Islam, yang mana merupakan suatu kata yang amat penting dan berpengaruh terhadap umat Islam dimanapun berada. Dikatakan penting karena fiqih merupakan hukum atau landasan yang digunakan oleh orang muslim dalam menjalankan ibadah. Istilah fiqih tersebut dapat dikenal oleh banyak orang karena pada masa pembentukannya terdapat tokoh-tokoh mujtahid yang bersungguh-sungguh dalam menetapkan hukum dalam peribadatan manusia yang dalam pelaksanaanya tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak aturan. Para mujtahit dalam menentukan hukum tentu tidak dilakukan sesuai dengan pikiran mereka sendiri saja, tetapi juga berlandaskan Al-Qur’an yang merupakan sumber hukum pertama bagi umat islam.

Setelah ditetapkannya fiqih sebagai suatu ilmu dan cara mencari hukum terhadap suatu masalah, tentunya sangat berpengaruh terhadap perkembangan tasyri’ karena fiqih sudah cukup mempelajari apa-apa yang ditetapkan dalam aturan yang global, kemudian dengan fiqih tersebut akan menjadi lebih dipahami, karena lebis spesifik.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana munculnya istilah fiqhiyah ?

2. Siapakah tokoh-tokoh mujtahit itu ?

3. Bagaimana pengaruh fiqih dan tokoh-tokoh mujtahid terhadap perkembangan tasyri’ ?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui bagaimana munculnya istilah fiqhiyah

2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh mujtahit itu

3. Untuk mengetahui pengaruh fiqih dan tokoh-tokoh mujtahid terhadap perkembangan tasyri’


BAB II

PEMBAHASAN

A. Timbulnya Istilah-Istilah Fiqh

Al-Qur'an menuntut tuntutan yang dikehendaki dengan gaya bahasa yang telah kami terangkan pada periode pertama. Gaya bahasanya tidak mempunyai kelebihan atas yang lain dalam kekuatan menuntutnya, seluruhnya sama. Demikian juga as-Sunnah dalam menuntut tuntutan yang dikehendakinya. Ketika tuntutan-tuntutan itu berbeda-beda di hadapan pandangan para fuqaha maka mereka membutuhkan untuk memilih nama-nama yang menunjukkan yaitu: fardhu, wajib, sunnah, mandub dan mustahab.

Fardhu dan wajib adalah dua buah nama bagi sesuatu yang dituntut dengan tuntutan pasti. Hanya saja menurut golongan Hanafiyah sesuatu yang tuntutannya itu tetap dengan dalil yang qath’i baik sampainya maupun dilalahnya seperti ayat-ayat al-Qur'an dan as-Sunnah yang qath’i shaihnya karena mutawatir atau tersohor apabila dia itu nash, dan wajib adalah sesuatu yang tuntutannya itu tetap dengan dalil yang zhanni baik sampainya maupun dilalahnya atau kedua-duanya bersama-sama.

Adapun menurut pendapat yang lain tidak ada perbedaan antara fardhu dan wajib bahkan seluruh hal yang dituntut dengan dalil pasti (qath’i) maupun zhanni (singkatan). Tetapi mereka membedakan antara fardhu dan wajib yang dituntut dimana mereka mengatakan bahwa sesuatu yang dituntut oleh syara’ dan tidak ada penggantinya maka dia fardhu seperti wuquf di Arafah dam ifadhah. Sesuatu yang dituntut dan meningalkannya diganti dengan dam, itu namanya wajib seperti ihram, dan di kalangan mereka fardhu itu dikenal dengan fardhu kifayah yaitu setiap pekerjaan yang dituntut oleh syara’ tanpa merujuk kepada pelakunya, manakala seorang mukalaf telah mengerjakannya maka dosanya gugur dari seluruh orang, dan manakala mereka meninggalkannya semua, maka mereka berdosa.

Sunnah menurut istilah Hanafiyah adalah sesuatu yang terus dilakukan oleh Rasulullah saw. Namun kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa udzur. Mandub dan mustahab adalah sesuatu yang beliau tidak terus menerus mengerjakannya meskipun beliau tidak mengerjakannya sesudah menggemarkannya pada pada orang lain. Dalam istilah lain, sunnah, mandup dan mustahab adalah satu pengertian yaitu sesuatu yang dituntut dengan tuntutan yang tidak pasti, hanya mereka katakana sunnah muakkadah bagi sesuatu yang oleh hanafiyah disebut sunnah, dan sunnah ghairu muakkadah bagi sesuatu yang mereka namakan mandub dan mustahab.

Mereka istilahkan atas sesuatu yang dituntut oleh syara’ untuk mencegahnya dengan haram dan makruh. Haram menurut Hanafiyah akebalikan fardhu, makruh tahrim adalah kebalikan wajib, dan makruh tanzih adalah kebalikan sunnah. Menurut selain mereka (Hanafiyah) haram itu kebalikan fardhu dan wajib, karena fardhu dan wajib adalah dua persamaan kata (sinonim). Makruh tahrim atau makruh syaidah adalah sesuatu yang berlawanan dengan sunnah ghairu muakkadah.

B. Tokoh-Tokoh Mujtahid

Disebutnya salah seorang fuqaha periode-periode yang lampau hanyalah karena sekedar dinukilnya pendapat-pendapat mereka di tengah kitab-kitab perbedaan pendapat fuqaha sahabat dan tabi’in yang memiliki peninggalan-peninggalan besar dalam membina hukum Islam karena mereka adalah orang salaf yang shahuh, mereka adalah pelita bagi orang yang hidup sesudah mereka. Dalam pada itu sesungguhnya nama-nama mereka terlipat dalam salah seorang dari mereka tidak terhitung sebagai ikutan, sedikit jumhur atas pengaruhnya dan diikuti dalam kumpulan pendapat-pendapatnya. Dalam periode ini muncullah para mujtahid yang oleh jumhur dianggap sebagai imam-imam yang mengatur langkah-langkah mereka dan beramal dengan menerapkan pendapat-pendapat mereka sehingga dijadikannya menduduki nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah yang tidak boleh dilampauinya.

1. Imam Pertama Abu Hanifah

Abu Hanifah adalah salah seorang yang arif (mengetahui) tentang hadits dan fiqih penduduk Kufah, dan ia sangat mengikuti kepada sesuatu yang dijalankan oleh manusia di negerinya. Pada masanya di Kufah ada tiga ulama besar yaitu:

a. Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri, termasuk imam ahli hadits.

b. Syarik bin Abdullah An Nakha’i

c. Muhammad bin Abdur Rahman bin Abi Laila

2. Imam Kedua Malik

Dia adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir. Nasabnya berakhir sampai Dzu Ashbah dari Yaman. Salah seorang kakeknya datang ke Madinah dan menetap di sana. Neneknya Abu Amir termasuk sahabat Rasulullah saw. yang ikut berperang bersama beliau pada seluruh perang kecuali perang Badar. Ia (Imam Malik) dilahirkan di Madinah tahun 93 H.

Ia menuntut ilmu pada ulama Madinah. Orang pertama yang menjadi tempat belajar adalah Abdur Rahman bin Hurmuz. Ia tinggal bersama Abdur Rahman dalam waktu yang lama dan tidak bergaul dengan orang-orang lain. Ia belajar pada Nafi’ maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun guurnya dalam fiqh adalah Rabi’ah bin Abdur Rahman yang terkenal dengan Rabi’ah Ar Ra’yu. Ketika gurunya telah mengakui kepadanya dalam hadits dan fiqh ia duduk untuk meriwayatkan hadits dan berfatwa. Malik berkata: “Saya tidak duduk (untuk berfatwa=pen) sehingga tujuh puluh guru dari ahli ilmu telah mengakui bahwa saya berhak menempati kedudukan itu”.

Orang-orang sepakat bahwa dia adalah imam dalam hadits dan terpercata kebenaran riwayatnya. Guru-guru, teman-temannya dan orang-orang yang sesudahnya sepakat atas yang demikian itu sehingga sebagian dari mereka berkata “hadits yang paling shahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar, kemudian Malik dari Abu Zinad dari A’raj dari Abu Hurairah”.

Dari segi yang kedua ulama-ulama besar dari imam-imam madzabnya mengambil masalah-masalah dari padanya, dan penurutan mereka akan datang kemudian.

Dalam fatwanya, Malik rahimatulullah berpegang kepada:

a. Kitabullah

b. Sunnah Rasulullah saw. yang dianggap shahih. Dalam hal ini pegangannya adalah muhadits-muhadits besar dari ulama Hijaz dan ia memberikan perhatian yang besar atas sesuatu yang telah berlaku untuk diamalkan di Madinah, lebih-lebih amalan para imam dan kadangan-kadang ia menolah hadits karena tidak adanya pengalaman hadits itu.

c. Kemudian ia berpegang kepada qiyas, apabila tidak ada kitab atau sunnah.

3. Imam Ketiga Asy Syafi’i

Dia adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’ Asy Syafi’i Al Muththalibi dri Abdul Muththtalib yaitu ayah yang ke IV bagi Rasulullah saw., dan ayah yang ke IX bagi Asy Syafi’i. ibunya berbangsa Yaman dari Al Azdi dan ibunya termasuk wanita yang bernaluri paling cerdas.

Asy Syafi’i dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H suatu daerah di Asqalan. Ghuzzah itu bukan tanah air nenek moyangnya, namun ayahnya yang bernama Idris datang kesana karena suatu keperluan dan meninggal di sana. Asy Syafi’i berumur dua tahun, ia dibawa oleh ibunya pulang ke tanah air nenek moyangnya yaitu Makkah. Di sanalah ia besar sebagai anak yatim dalam asuhan ibunya. Ia hafal al-Qur'an di kala masih kanak-kanak.

Ia terus menetap disana sampai wafatnya pada tahun 204 H. dan dimakamkan di perkurburan Bani Abdul Hakim. Orang-orang Mesir memuliakannya baik dikala hidupnya maupun sesudah wafatnya. Ia dianggap orang yang berkebangsaan Mesir dimana dulunya berkebangsaan Hijaz. Asy Syafi’i adalah seorang imam yang menyiarkan madzabnya sendiri dengan melakukan perjalanan-perjalanan dan dialah orang yang menulis sendiri kitab-kitabnya serta mendiktekan kepada murid-muridnya. Hal ini tidak dikenal pada imam-imam besar lain.

Asas madzab Asy Syafi’i tertulis dalam Risalah ushul-nya yakni ia berhujjah dengan zhahir-zhahir al-Qur'an sehingga ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksudkannya bukan zhahir-zhahirnya. Setelah itu berasaskan as-Sunnah, dan ia telah mempertahankan dengan sekaut-kuatnya untuk mengalamkan hadits ahad selama perawinya itu bersambung sampai kepada Rasulullah saw. Ia tidak mensyaratkannya, dan ia tidak mensyaratkan kemasyhuran hadits sebagaimana penduduk Irak mensyaratkannya. Pembelaan itu memperoleh bagian yang besar di kalangan ahli hadits sehingga penduduk Baghdad menjulukinya sebagai penolong as Sunnah. Ia memandang as-Sunnah yang shahih sebagaimana memandang kepada al-Qur'an, dimana anda lihat masing-masing dari keduanya wajib diikutinya. Kemudian ia mengamalkan ijma. Pengertian ijma’ menurut Asy Syafi’i adalah tidak diketahui adanya perbedaan pendapat, karena mengetahui dengan sepakat menurut pandangannya tidaklah mungkin, sebagaimana kami kemukakan. Apabila di sana tidak ada dalil yang dinash-kan maka ia menuju kepada qiyas dan mengamalkannya dengan sarat hal itu mempunyai pokok yang tertentu. Dengan kerasnya ia menolak apa yang oleh orang-orang disebut dengan istihsan, dan apa yang oleh orang-orang Maliki disebut istishlah, tetapi ia mengamalkan sesuatu yang mendekatinya yaitu istid-lal. Dengan menghimpun fiqih orang-orang Hijaz, fiqih orang-orang Irak, dan kefasihan orang-orang Badui maka Asy Syafi’i punya jalinan yang tersendiri dalam berdiskusi dan kebaikan tulisannya yang tingkatan tulisannya tidak aklah dengan tulisan penulis yang paling petah pada waktu itu seperti Al Jahizh dan orang-orang yang semisalnya.

4. Imam yang Keempat Ahmad bin Hambal

Dia adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal Adz Dzahili Asy Syaibani Al Maruzi Al Baghdadi, dilahirkan pada tahun 164 H. ia mendengar pembesar-pembesar hadits dari Hasyim, Sufyan bin Uyainah dan orang-orang lain yang setingkat.

Ia belajar fiqih pada Asy Syafi’i ketikat ia datang di Baghdad, dan dia adalah muridnya yang tersohor dari orang-orang Baghdad, kemudian ia ijtihad untuk diirnya sendiri. Ia termasuk mujtahid ahli hadits yang mengamalkan hadits ahad tanpa syarat selama sanadnya shahih seperti jalan Asy Syafi’i dan ia mendahulukan pendapat-pendapat sahabat dari pada qiyas.


C. Pengaruh Fiqih Terhadap Perkembangan Tasyri’

Munculnya madzab-madzab fiqih pada periode ini merupakan puncak dari perjalanan kesejarahan tasyri’. Bahwa munculnya madzab-madzab fiqih itu lahir dari perkembangan sejarah sendiri, bukan karena pengaruh hukum romawi sebagaimana yang dituduhkan oleh para orientalis.

Munculnya madzab dalam sh terlihat adanya pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabi’in hingga muncul madzab-madzab fiqih pada periode ini. Seperti contoh hukum yang dipertentangkan oleh Umar bin Khattab dengan Ali bin Abi Thalin ialah masa ‘iddah wanita hamil yang ditinggalkan mati oleh suaminya.

Adanya pengaruh turun temurun dari ulama-ulama yang hidup sebelumnya tentang timbulnya madzab tasyri’, ada beberapa faktor yang mendorong di antaranya:

1. Karena semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam sehingga hukum Islampun menghadapi berbagai macam masalah yang berbeda-beda tradisinya.

2. Munculnya ulama-ulama besar pendiri madzab-madzab fiqih berusaha menyebarluaskan pemahamannya dengan mendirikan pusat-pusat study tentang fiqih, yang diberi nama Al-Madzab atau Al-Madrasah yang diterjemahkan oleh bangsa barat menjadi school, kemudian usaha tersebut dijadikan oleh murid-muridnya.

3. Adanya kecenderungan masyarakat Islam ketika memilih salah satu pendapat dari ulama-ulama madzab ketika menghadapi masalah hukum.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Istilah-istilah dalam fiqih diantaranya yaitu fardhu, wajib, sunnah, mandub dan mustahab. Fardhu dan wajib adalah dua buah nama bagi sesuatu yang dituntut dengan tuntutan pasti

Sunnah menurut Hanafiyah adalah sesuatu yang terus dilakukan oleh Rasulullah Saw. Namun kadang-kadang beliau meninggalkannya tanpa udzur

Mandub dan mustahah adalah sesuatu yang beliau tidak terus menerus mengerjakannya sesudah menggemarkannya pada orang lain

Tokoh-tokoh mujtahid diantaranya adalah :

1. Imam Abu Hanifah

2. Imam Malik

3. Imam Syafi’i

4. Imam Ahmad bin Hambal


DAFTAR PUSTAKA

http://moenawar,multiply.com/journal/item/12

http://Irdy74.multiply.com/journal/item/141

Zuhri Muhammad, Tarikh Al Tasyri’ Al Islami, Darul Ikhya’, Semarang, 1980

iii