Sabtu, 04 Juli 2009

TAQLID

TAQLID

Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah “Materi PAI-2

Dosen Pembimbing:

Drs. Nur Effendi, M.Ag

NIP.

Disusun Oleh :

1. Anik Nadhiroh 3211073040

2. Arnes Jainur Trinasari 3211073045

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN) TULUNGAGUNG

MEI 2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada periode kelima yaitu periode mendirikan dan menguatkan madzab, tersiarnya diskusi dan perdebatan yang dimulai dari permulaan abad ke IV sampai dengan runtuhnya Daulat Abbasiyah terjadi ikatan-ikatan politik antara daerah-daerah Islam terputus. Yang mana masing-masing golongan dari para penguasa saling memusuhi dan membuat tipu daya antara yang satu dengan yang lainya.

Adapun keadaan ilmu tidak ikut kacau balau seperti keadaan politik namun tetap berkembang lebih-lebih pada masa saljuk di Timur dan masa Daulat Fathimiyah di Mesir. Padanya muncullah ulama-ulama besar tokoh-tokoh pemikir. Dalam pembinaan hukum Islam (tasyri’ Islami) mereka mempunyai peranan seperti apa yang akan kami perinci pada keistimewaan-keistimewaan berikut ini, hanya saja yang wajib diketahui bahwasanya kemerdekaan (kebebasan) dalam pembinaan hukum telah lemah karena mengikuti lemahnya kemerdekaan politik.

Tipu daya yang terbesar adalah yang terjadi antara bani Abbas di Baghdad yang kekuasannya surut dan bani Fathimiyah yang pusatnya kuat karena menguasai Mesir dan Syam. Mereka mengirimkan para juru da’wah dengan tangkas kedaerah-daerah Islam untuk menyiarkan dakwa mereka. Bani Abbasiyah menyelenggarakan rapat-rapat untuk memutuskan hubungan dengan bani Fathimiyah dan mereka menjauhkan diri dari keturunan Az Zahro dan mereka mewajibkan adanya ceramah-ceramah yang dihadiri oleh orang-orang yang terhormat dan ulama secara tunduk maupun terpaksa.

B. Rumusan Masalah

  1. Apa itu taqlid ? dan Bagaimana hukum bertaqlid?
  2. Bagaimana cara untuk memilih mufti?
  3. Apa itu madzab? dan Bagaimana ketentuan untuk memilih madzab?

C. Tujuan Pembahasan

  1. Agar mahasiswa mengetahui pengertian dan hukum taqlid
  2. Agar mahasiswa mengetahui cara untuk memilih mufti
  3. Agar mahasis mengetahui pengertian dan ketentuan untuk memilih madzab.

BAB II

PEMBAHASAN

A. TAQLID

1. Pengertian Taqli

Taqlid adalah menerima hukum-hukum dari imam tertentu dan menganggap pendapat-pendapatnya seolah-olah nash dari syari’ yang wajib diikuti oleh orang yang bertaqlid.

Yang boleh bertaqlid (muqollid) adalah orang-orang umum yang tidak menyibukkan diri untuk mempelajari Al Kitab dan As Sunnah hingga menjadikan mereka ahli untuk beristimbath, apabila mereka mendapatkan suatu peristiwa mereka bersegera kepada seorang ahli fiqih dinegeri mereka untuk minta fatwa.

Sedangkan yang boleh ditaklidi (para mujtahid) adalah para fuqoha yang mempelajari Al kitab dan As sunah dan mereka mempunyai kemampuan untuk menginstimbatkan hukum-hukum dari zhahir nash atau dari apa yang tersirat padanya.

2. Hukum bertaqlid

Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang Islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama, diantaranya firman Allah dalam surat Luqman : 21.

وَإِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتْبِعُوْا مَااَنْزَلَ اللهُ قَالُوْ بَلْ نَتَّبِعُ مَاوَجَدْ نَاعَلَيْهِ ابَا ئُنَا (لقمان : ۲۱)

Artinya:

Bila dikatakan kapada mereka ikutilah apa-apa yang diturunkan Allah mereka berkata, bahkan kami mengikuti apa-apa yang kami temukan bapak-bapak kami melakukannya.

Disamping itu ada pula ayat yang mengisyaratkan tidak perlu semua mendalami pengetahuan agama, tapi cukup sebagian orang saja, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah pada surat At-Taubah : 122.

فَلَوْلاَ نَفَرَمِنْ كُلّ فَرْ قَةٍ مِنْهُمْ طَا ئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيَنْفِرُوْا قَوْمَهُمْ إِذَارَ جَعُوْا (التوبه : ۱۲۲)

Artinya:

Kenapa tidak keuar dari sebagian dari setiap golongan diantara mereka untuk mendalami pengetahuan agama dan mengajari (memperingatkan) kaumnya setelah mereka kembali.

Adapun pada periode ini, taqlid berjalan secara umum, dan dalam hal itu para ulama dan selainnya dari jumhur bersekutu. Setelah orang yang menghendaki fiqih pada mulanya sibuk mempelajari Al Qur’an dan riwayat As Sunnah yang keduanya adalah atas istimbath lalu dia mempelajari kitab-kitab imam tertentu dan mempelajari jalannya yang dengan jalan itu imam tersebut membukukan hukum-hukum. Apabila ia telah menyempurnakan hal itu maka ia termasuk ulama yang ahli fikih (fuqaha).

Sebagian dari mereka ada yang bercita-cita tinggi lalu dia menyelisihi suatu kitab tentang hukum-hukum imamnya, adakalanya mengikhtisarkan terhadap karangan yang terdahulu atau mensyarahkan atau mengumpulkan terhadap sesuatu yang terpisah pada kitab yang berlain-lainan, dan salah seorang dari mereka tidak memberanian untuk mengatakan sesuatu masalah dengan pendapat yang bertentangan dengan apa yang difatwakan oleh imamnya seolah-olah kebenaran itu turun pada lidah dan hati imamnya sehingga peninjau fuqoha Hanafiyah pada periode ini, dan imam mereka dengan tidak menentang yaitu Abdul hasan Ubaidullah Al Karchi. Dengan seperti inilah mereka memberi hukum kepada orang lain dan terbukalah pintu memilih pendapat. Kami tidak ragu bahwa diantara fuqoha periode ini terdapat imam-imam besar, dan penuturan sebagian dari mereka segera datang dan kami tidak menduga bahwa mereka kurang mengetahui pokok-pokok tasyrik dan jalan beristimbath daripada orang-orang yang mendahului mereka, namun mereka tidak mempunyai kemerdekaan yang disenangi oleh orang-orang yang terdahulu.

3. Memilih mufti

Orang yang awam tidaklah meminta fatwa kecuali kepada orang yang telah dikenalnya karena ilmu dan sifat adilnya. Jika diketahui tidak adanya salah satu dari kedua sifat tersebut, maka menurut kesepakatan ulama, yang bersangkutan tidak boleh diikuti.

Jika ijtihad merupakan syarat dalam menerima fatwa, maka hal itu harus dilakukan oleh yang bertanya. Dan lagi, asalnya adalah tidak ada ijtihad, sehingga untuk merubah ijtihad (sebelumnya) harus mengetahui ijtihad yang terbaru; selama tidak diketahui, maka hukumnya tetap.

Jika orang yang memberi fatwa tidak diketahi sifat adilnya, Imam al Ghazali berpendapat: Sebaiknya dikatakan: yang bersangkutan tidak didiamkan hingga ditanya sifat adilnya terlebih dahulu, karena dia belum dipercaya (bebas dari) sifat dusta dan kepalsuannya. Dan mungkin dikatakan bahwa kondisi seorang yang alim secara lahir memiliki sifat adil, apalagi jika dia telah dikenal dengan fatwanya. Tidak mungkin dikatakan: Secara lahir kondisi pekertinya dilihat dari ilmunya dan telah mencapai level (orang memperbolehkan orang melakukan) fatwa, ketidak-tahuan lebih mendominasi pekerti.

Semua orang adalah awam kecuali beberapa orang (saja), bahkan semua ulama adalah orang-orang yang memiliki sifat adil kecuali beberapa saja. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibn al-Hammam. Ketika hendak meneliti tentang kondisi (kapabelitas dan kredibelitas) seorang mufti, maka cukup dengan mengetahui apa yang tersiar di kalangan ummat.

4. Taqlid kepada orang yang tidak diunggulkan saat ada yang diunggulkan

Jika di suatu negara hanya ada seorang mufti maka wajib bagi orang awam bertanya kepadanya. Jika muftinya banyak, maka orang awam tersebut boleh bertanya kepada siapa saja dan tidak harus mereferen (merujuk) yang paling alim dan utama, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa sahabat, karena orang awam yang bertanya kepada mufti yang diunggulkan dan yang tidak diunggulkan tidak dilarang bertanya kepada selain sahabat Abu Bakar, Umar dan selain khalifah yang lainnya.

B. MADZHAB

Pengertian madzhab dalam istilah fiqh atau ilmu fiqh adalah:

  1. Jalan pikiran atau metode (manhaj) yang digunakan seorang mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kejadian
  2. Pendapat atau fatwa seorang mujtahid atau mufti dengan hukum suatu kejadian

Orang awam tidak mutlak harus mengamalkan fatwa yang diterimanya dari seorang mufti.

Sehingga adanya kelonggaran untuk mengikuti mufti lain itu dalam masalah lain mengisyaratkan tidak harusnya seseorang untuk mengikatkan dirinya secara penuh kepada pendapat atau mazhab imam tertentu. Namun Ibnu Subki tetap mengharuskan seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu yang diyakini pendapatnya lebih kuat di antara madzhab yang ada.

Para pakar ilmu ushul kontemporer seperti Badran mengatakan tidak wajib bermadzhab (secara tetap), karena tidak ada ketentuan syara’ yang mewajibkan seseorang untuk mengikuti imam atau madzhab tertentu. Yang diwajibkan syara’ hanyalah mengikuti ahli ilmu tanpa menentukan person ulama (mufti) tertentu. Para shahabat dan ulama tabi’in tidak pernah menyangkal orang bukan mujtahid betanya kepada siapa saja yang termasuk ulama tanpa mengikatkan dirinya kepada madzhab tertentu.

Bertolak pada pendapat yang membolehkoan bermazhab, bolehkan orang yang telah bermazhab itu pindah madzhab. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama:

1. Sebagian ulama mengatakan tidak boleh, karena ia telah menyatakn dirinya untuk mengikuti madzhab meskipun asal mulanya tidak harus.

2. Ulama lainnya mengatakan boleh-boleh saja karena bermazhab itu sendiri tidak harus. Melazimkan sesuatu yang tidak lazim adalah tidak lazim.

3. Ada juga ulama mengamalkan jalan tengah dengan mengatakan tidak boleh dalam sebagian masalah dan boleh dalam sebagaian lainnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Taqlid adalah menerima hukum-hukum dari imam tertentuk dan mengangap pendapat-pendapatnya seolah olah nasj dari syari’ yang wajin diikuti oleh orang yang bertaqlid. Hukum dari bertaqlid adalah boleh dan ada pula yang mengisyaratkan tidak boleh. Adapun pada periode ini, taqlid berjalans ecasra umum dan dalam hal itu para ulama dan selainnya bersekutu.

Dalam memilih mufti adalah kepada siapa saja asalkan dia berilmu dan bersikap adil. Dan apabila dalam suatu negara itu memiliki banyak mufrti maka kita bisa memilih siapa saja, tidak harus orang yang lebih pintar atau yang berilmu.

Madzab adalah suatu pendapat atau fatwa dari seorang mujtahid atau mufti dengan hukum pada suatu kejadian. Orang awam itu tidak mutlak mengikuti fatwa yang dari seorang mufti. Tetapi ada sebagian ulama berpendapat bahwa kita tetap diharuskan mengikuti madzhab sesuatu dengan yang diyakini pendapatnya lebih kuat diantara madzab-madzab yang ada.

B. Saran

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak sangat saya perlukan demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mudhari, Bik, Terjemah Tarikh Al-Tasyri’ Al Islam, Darul Ikhya, Indonesia

2. Al-Qarni, DR, ’Aidh, Ushul Fiqh/Penulis, Syaikh Muhammad al Khudhari biek,. Jakarta: Pustaka Asmani, 207.

3. Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Jilid II, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999

4. Amiruddin, H.Zen, Drs. M.SI., Ushul Fiqh, Surabaya: ELKAF, 2006.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulis tidak dapat memungkiri bahwa makalah ini tidak dapat selesai tanpa ada bantuan dari berbagai pihak, dan karena itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. DR. H. Mujamil, M.Ag., selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.

2. Drs. Nur Efendi, M.Ag., selaku dosen pembimbing mata kuliah Materi PAI 2 (Materi Pendidikan Agama Islam)

3. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Sekali lagi, penyusun mengucapkan terima kasih dengan do’a jazakumulloh ahsanal jaza’ amin. Ibarat pepatah “Tiada gading yang tak retak”. Penyusun menyadari makalah ini banyak menyimpan kekurangan dan kejanggalan di luar pengetahuan penyusun dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kepada pembaca yang budiman kiranya sudi memberikan suatu kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.

Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah yang sangat sederhana ini dapat bermanfaat kepada penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Amin ya robbal ‘alamin.

Tulungagung, Mei 2009

Penyusun

ii


DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................. i

Kata Pengantar............................................................................................. ii

Daftar Isi...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................ 1

B. Rumusan Masalah........................................................................ 1

C. Tujuan Masalah............................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Taqlid.......................................................................................... 3

B. Madzab........................................................................................ 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................. 8

B. Saran............................................................................................ 8

Daftar Pustaka

iii